Terapi Behavioral
Terapi perilaku merupakan aplikasi sistematis dari prinsip-prinsip belajar untuk menangani gangguan psikologis dan fokusnya pada perubahan perilaku, bukan perubahan kepribadian atau menggali masa lalu secara mendalam. Terapi behavioral relatif singkat, berlangsung umumnya dari beberapa minggu sampai beberapa bulan. Terapi perilaku pertama kali memperoleh perhatian yang besar sebagai cara untuk membantu mengatasi ketakutan dan fobia.
Metode-metode dari terapi behavioral adalah :
Desensitisasi sistematis
Melibatkan suatu program terapeutik yang memperlihatkan (dalam imajinasi atau dengan menggunakan gambar atau slide) stimuli yang secara bertahap semakin menakutkan sementara individu merasa sangat santai.
Pemaparan bertahap (gradual exposure)
Orang yang memiliki masalah fobia secara sengaja dipaparkan pada stimuli nyata yang menimbulkan ketakutan. Seperti pada desensitisasi sistematis, individu maju melalui hierarki dari stimuli yang secara bertahap mekin menimbulkan kecemasan, sesuai dengan kemampuannya.
Modelling
Individu mempelajari perilaku yang diharapkan dengan mengamati orang lain melakukannya. Setelah mengamati model, klien diarahkan atau dibimbing oleh terapis atau model untuk melakuka perilaku yang menjadi target.
Pembanjiran (flooding)
Membanjiri klien dengan situasi atau penyebab yang menimbulkan kecemasan atau tingkah laku yang tidak dikehendaki, bertahan di sana sampai klien menyadari bahwa malapetaka yang dicemaskannya tidak terjadi.
Terapi aversif
Pada terapi aversif pengaturan kondisi aversif diciptakan oleh terapis yaitu dengan memasangkan suatu stimulus dengan stimulus yang tidak menyenangkan/negatif.
Selective reward/punishment
Terapis meneliti klien dalam setting aktual, bekerjasama dengan orangtua dan guru untuk memberi hadiah ketika anak melakukan tingkah laku yang dikehendaki dan menghukum kalau muncul tingkah laku yang tidak dikehendaki.
Latihan ketrampilan sosial
Untuk penderita depresi. Teori depresi yang populer memandang depresi sebagai akibat dari perasaan tidak mendapatkan hadia/perhatian dari lingkungan.
Token ekonomy
Hadia dalam bentuk kartu berharga diberikan kepada klien setiap klien memunculkan perilaku yang dikehendaki. Sesudah kartu di tangan klien mencapai jumlah tertentu, dapat ditukar dengan hadiah yang disukai.
Terapi Kognitif
Terapis kognitif berfokus untuk membantu klien mengidentifikasi dan memperbaiki keyakinan-keyakinan maladaptif, jenis berpikir otomatis dan sikap self-defeating yang mengahsilkan atau menambah masalah emosional. Mereka percaya bahwa emosi-emosi negatif seperti kecemasan dan depresi disebabkan oleh interpretasi kita terhadap peristiwa yang menggangu, bukan pada peristiwa itu sendiri. Kecenderungan untuk membesar-besarkan pentingnya kegagalan kecil adalah sebuah contoh dari suatu kesalahan dalam berpikir yang disebut Beck sebagai distorsi kognitif.
Dua terapis kognitif yang menonjol adalah:
Terapi Rasional-Emotif dari Albert Ellis
Ellis percaya bahwa adopsi dari keyakinan irasional dan self-defeating akan meningkatkan masalah psikologis dan perasaan negatif. Kesulitan emosional seperti kecemasan dan depresi tidak disebabkan langsung oleh peristiwa negatif, tetapi lebih oleh bagaimana kita mendistorsi, artinya dengan memandang peristiwa tersebut melalui kacamata gelap keyakinan self-defeating. Pada terapi perilaku rasional-emotif (Rational Emotive behavior Teraphy/REBT), terapis secara aktif mendebat keyakinan irasional klien dan premis-premis yang mendasarinya dan membantu klien untuk mengembangkan keyakinan alternatif dan adaptif.
Terapi Kognitif dari Aaron Beck
Terapi kognitif mendorong klien untuk mengenali dan mengubah kesalahan dalam berpikir, disebut sebagai distorsi kognitif, yang mempengaruhi mood dan menyebabkan hendaya perilaku, seperti kecenderungan untuk membesar-besarkan kejadian negatif dan mengecilkan pencapaian pribadi. Terapis kognitif meminta klien untuk merekam pikiran-pikiran yang muncul akibat kejadian mengecewakan yang mereka alami dan memperhatikan hubungan antara pikiran dengan respons emosional mereka. Hal ini kemudian akan membantu mereka membantah pikiran yang terdistorsi dan menggantikannya dengan alternatif yang rasional.
Terapi Humanistik
Terapis humanistik berfokus pada pengalaman klien yang subjektif dan disadari. Seperti terapis perilaku, terapis humanistik juga lebih berfokus pada apa yang dialami klien saat ini. Akan tetapi, ada juga persamaan antara terapis psikodinamika dan humanistik, keduanya mengasumsikan bahwa masa lalu mempengaruhi perilaku dan perasaan pada masa kini dan keduanya mencoba untuk memperluas self-insight klien. Bentuk utama dari terapi humanistik adalah :
Terapi berpusat individu (client-centered teraphy). Rogers percaya bahwa orang-orang memilki kecenderungan motivasional alami ke arah pertumbuhan, pemenuhan, dan kesehatan. Dalam pandangan Rogers, gangguan psikologis berkembang sebagian besar akibat hambatan yang ditempatkan oleh orang lain dalam perjalanan ke arah self-actualization. Terapi berpusat individu menciptakan kondisi hangat dan penerimaand alam hubungan terapeutik yang membantu klien untuk menjadi lebih sadar dan menerima diri mereka sendiri.
Terapi berpusat individu bersifat tidak mengarahkan. Klien, bukan terapis, yang memimpin dan mengarahkan jalannya terapi. Terapis menggunakan refleksi yaitu pengulangan atau perumusan kembali dari perasaan-perasaan yang diekspresikan klien tanpa menginterpretasi atau memberi penilaian. Terapis yang efektif seharusnya memiliki 4 kualitas atau atribut dasar : penerimaan positif tanpa syarat, empati, ketulusan, dan kongruen.
Pertama, terapis harus dapat mengekspresikan penerimaaan positif tanpa syarat (unconditional positive regrad) kepada klien. Terapis harus bisa menerima klien sebagai pribadi tanpa syarat, walaupun kadang-kadang terapis tidak menyetujui pilihan atau perilaku klien. Terapis yang menunjukkan empati (empathy) dapat merefleksikan atau mencerminkan secara akurat pengalaman dan perasaan klien mereka. Terapis mencoba melihat dunia melalui mata atau kerangka berpikir klien mereka. Ketulusan (genuiness) adalah kemampuan untuk terbuka mengenai perasaan seseorang. Kongruen (congruence) mengacupada kecocokan antara pikiran, perasaan, dan perilaku seseorang. Orang yang kongruen adalah yang perilaku, pikiran, dan perasaannya terintegrasi dan konsisten. Terapis yang kongrauen bertindak sebagai model dari integrasi psikologis bagi klien mereka.
Terapi Kognitif-Behavioral (CBT)
Terapi kognitif-bahavioral (Cognitive-Behavioral Teraphy/CBT) berusaha untuk mengintegrasikan teknik-teknik terapeutik yang berfokus untuk membantu individu melakukan perubahan-perubahan, tidak hanya pada perilaku nyata, tetapi juga dalam pemikiran, kayakinan dan sikap yang mendasarinya. Terapi kognitif behavioral memiliki asumsi bahwa pola berpikir dan keyakinan mempengaruhi perilaku, dan perubahan pada kognisi ini dapat menghasilkan perubahan perilaku yang diharapkan.
Terapi perilaku-kognitif merupakan teknik yang sedang berkembang pesat sejak dekade yang lalu. Meichenbaum (dalam Ivey, 1993) menggabungkan antara modifikasi perilaku dan terapi kognitif. Terapi perilaku-kognitif didasarkan pada asumsi bahwa perilaku manusia secara resiprok dipengaruhi oleh pemikiran, perasaan, proses fisiologis, serta konsekuensinya pada perilaku. Jadi bila ingin mengubah perilaku yang maladaptif dari manusia, maka tidak hanya sekedar mengubah perilakunya saja, tetapi juga menyangkut aspek kognitifnya.
Terapi perilaku-kognitif terdiri dari berbagai prosedur pelatihan yang berbeda-beda, termasuk di dalamnya antara lain relaksasi, terapi kognitif, dan pemantauan diri. Modifikasi perilaku-kognitif merupakan gabungan terapi perilaku dan terapi kognitif. Dalam pelaksanaannya, terapi perilaku-kognitif menekankan pada pemahaman terhadap aspek pengalaman kognisi yang berbeda-beda misalnya kepercayaan, harapan, imaji, pemecahan masalah.
Terkait dengan perlunya pemahaman tentang prinsip-prinsip terapi perilaku-kognitif, Meichenbaum (dalam Ivey, 1993) mengemukakan 10 hal yang harus diperhatikan seorang terapis dalam penggunaan terapi perilaku-kognitif, yaitu :
1. Terapis perlu memahami bahwa perilaku klien ditentukan oleh pikiran, perasaan, proses fisiologis, dan akibat yang dialaminya. Terapis dapat memasuki sistem interaksi dengan memfokuskan pada pikiran, perasaan, proses fisiologis, dan perilaku yang dihasilkan klien.
2. Proses kognitif sebenarnya tidak menyebabkan kesulitan emosional, tetapi yang menyebabkan kesulitan emosional adalah karena proses kognitif itu sendiri merupakan proses interaksi yang kompleks. Bagian penting dari proses kognisi adalah meta-kognisi yaitu klien berusaha untuk memberi komentar secara internal pada pola pemikiran dan perilakunya saat itu. Struktur kognisi yang dibuat individu untuk mengorganisasi pengalaman adalah personal schema. Terapis perlu memahami personal schema yang digunakan oleh klien untuk lebih mamahami masalah yang dialami klien. Perubahan personal schema yang tidak efektif adalah bagian yang penting dari terapi.
3. Tugas penting dari seorang terapis adalah menolong klien untuk memahami cara klien membentuk dan menafsirkan realitas.
4. Terapi perilaku-kognitif memahami persoalan dengan pendekatan psikoterapi yang diambil dari sisi rasional atau objektif.
5. Terapi perilaku-kognitif ditekankan pada penjabaran serta penemuan proses pemahaman pengalaman klien.
6. Dimensi yang cukup penting adalah untuk mencegah kekambuhan kembali.
7. Terapi perilaku-kognitif melihat bahwa hubungan baik yang dibangun antara klien dan terapis merupakan sesuatu yang penting dalam proses perubahan klien.
8. Emosi memainkan peran yang penting dalam terapi, untuk itu klien perlu dibawa ke dalam suasana terapi yang mengungkap pengalaman emosi.
9. Terapis perlu menjalin kerjasama dengan pihak keluarga ataupun pasangan klien.
10. Terapi perilaku-kognitif dapat diperluas sebagai proses pencegahan timbulnya perilaku maladaptif.
Terapi perilaku-kognitif terdiri dari bermacam-macam teknik, antara lain :
1. Teknik relaksasi
Teknik ini dilakukan berdasar pada asumsi bahwa individu dapat secara sadar untuk belajar merilekskan otot-ototnya sesuai dengan keinginannya melalui suatu cara yang sistematis (Jacobson dalam walker dkk.,1981). Ada bermacam-macam teknik relaksasi, salah satunya yaitu teknik relaxation via letting go agar subjek mampu melepaskan ketegangan dan akhirnya mencapai keadaan tanpa ketegangan. Diharapkan subjek belajar menyadari ketegangannya dengan menegangkan otot-ototnya dan berusaha untuk sedapat mungkin mengurangi dan menghilangkan ketegangan otot tersebut. Selain itu dilatihkan pula teknik differential relaxation yang mengajarkan kepada subjek ketrampilan untuk merilekskan otot-otot yang tidak mendukung aktivitas yang dilakukan, karena dalam keadaan cemas seluruh otot cenderung tegang, walau otot tersebut kurang berperan dalam aktivitas tertentu.
2. Teknik pemantauan diri
Teknik ini berfungsi sebagai alat pengumpul data sekaligus berfungsi terapeutik. Dasar pemikiran teknik ini adalah pemantauan diri terkait dengan evaluasi diri dan pengukuhan diri (Kanfer, dikutip Andajani, 1990). Subjek memantau dan mencatat perilakunya sendiri, sehingga lebih menyadari perilakunya setiap saat.
Beberapa langkah dalam teknik pemantauan diri adalah sebagai berikut :
(a) Mendiskusikan dengan subjek tentang pentingnya subjek memantau dan mencatat perilakunya secara teliti.
(b) Subjek dan terapis secara bersama-sama menentukan jenis perilaku yang hendak dipantau.
(c) Mendiskusikan saat-saat pemantauan dilaksanakan.
(d) Terapis menunjukkan pada subjek cara mencatat data.
(e) Role play. Pemantauan diri hendaknya dilakukan untuk satu jenis perilaku dan relatif merupakan respon yang sederhana (Kanfer, 1975).
Teknik kognitif
Dasar pikiran teknik kognitif adalah bahwa proses kognitif sangat berpengaruh terhadap perilaku yang ditampakan oleh individu. Burns (1988) mengungkapkan bahwa perasaan individu sering dipengaruhi oleh apa yang dipikirkan individu mengenai dirinya sendiri. Pikiran individu tersebut belum tentu merupakan suatu pemikiran yang objektif mengenai keadaan yang dialami sebenarnya. Penyimpangan proses kognitif oleh Burns (1988) juga disebut dengan distorsi kognitif. Pemikiran Burns merupakan pengembangan dari pendapat Goldfried dan Davison (1976) yang menyatakan bahwa reaksi emosional tidak menyenangkan yang dialami individu dapat digunakan sebagai tanda bahwa apa yang dipikirkan mengenai dirinya sendiri mungkin tidak rasional, untuk selanjutnya individu belajar membangun pikiran yang objektif dan rasional terhadap peristiwa yang dialami.
Kasus Baby Blues
Kasus 1 : beberapa kasus ibu dengan baby blues
Aruni, anak pertama Melati (29), sudah berusia satu tahun. Namun Melati masih sering merasa bayi itu tiba-tiba terlepas dari pelukannya saat Melati berdiri di ketinggian. Padahal dia tidak sedang menggendongnya. Namun Melati merasa bayangan itu adalah kenyataan. Kalau perasaan itu datang, keringat dinginnya mengalir. Tak mudah bagi Melati menghilangkan bayangan mengerikan itu meski hal mengerikan lainnya sudah ia lewati. “Waktu Aruni masih lebih kecil, saya sering membayangkan ada pisau menancap di perutnya,” ujar Melati. Bayangan tentang pisau yang menancap di perut sebenarnya sudah mulai mengganggu ketika usia kandungannya semakin tua. Perasaan tidak menentu menyertai Melati seusai kelahiran Aruni. Yang dominan, rasa ingin marah terus. “Saya kasihan pada suami karena ia sudah berusaha keras untuk membantu, termasuk bangun malam. Tapi sedikit saja kekeliruan bisa membuat saya meledak,” kenang Melati. Tak jarang Melati merasakan banyak kekhawatiran; khawatir tak bisa menjadi ibu yang baik dan lain-lain. Juga rasa sedih yang tak tentu sebab. Kadang ia merasa berada di padang luas tanpa batas. Sendirian. Sunyi. Perasaan kosong yang teramat dalam, yang tak pernah bisa ia bagi kepada siapa pun.
Meski tidak separah Melati, Sally Dwi Anda (35) merasakan sebagian hal yang sama. Seminggu setelah melahirkan, Sally mengalami rasa sedih berlebihan. Padahal orang-orang terdekatnya, seperti orangtua dan suami, sangat mendukungnya. Setiap malam, Guirino, sang suami, ikut mengganti popok anaknya yang basah. “Gue bangun tinggal kasih susu ke Sheila saja,” ujarnya.
Banyak perempuan mengalami perasaan berubah-ubah secara ekstrem (mood swings) pascamelahirkan. Semua perempuan berpotensi mengalaminya, termasuk aktivis yang tercerahkan dengan suami yang sungguh-sungguh sangat mendukung.
“Waktu melahirkan Bram, sampai usia enam-tujuh bulan, saya punya perasaan aneh. Pada suami saya, saya sering bilang, ’Benda apa sih ini yang bisanya nangis, kencing, dan pup.’ Padahal suami saya yang mengurus bayi itu, bahkan suami yang menyodorkan bayi itu untuk saya susui,” kenang Ranti (43) saat melahirkan anak pertamanya, Bram, kini 19 tahun dan sudah kuliah.
Ririe (32) mengalami hal sama. Setelah melahirkan, ia merasa semua beban keluarga ditimpakan kepadanya. Kesedihan yang luar biasa sering ia rasakan, terutama kala menatap anaknya yang sedang tidur. Muncul perasaan ia tidak mampu memberikan yang terbaik untuk Rheesa (enam bulan). Beban psikologis itu terasa semakin berat ketika Paskalis, suami Ririe, tidak banyak membantu setelah Ririe melahirkan. Berbeda dengan suami Melati, Sally, dan Ranti, suami Ririe tertidur pulas ketika Ririe bangun tengah malam untuk mengganti popok anaknya. Padahal sebelumnya ia berharap sang suami bisa membantu karena jam kantornya siang. Pagi hari, suaminya juga tidak mau membawa anaknya jalan-jalan atau berjemur mendapatkan sinar matahari. “Setelah ngomel, suami saya baru mau,” lanjut Ririe. Kalau perasaan negatif itu datang, Ririe mengaku sering menangis tersedu-sedu di depan anaknya yang tertidur pulas. Dengan menangis, Ririe memeluk anaknya sambil minta maaf. Selama lebih tiga bulan Ririe mengalami gejolak emosi yang sangat tidak stabil. Terkadang ia merasa bahagia dianugerahi seorang anak, lalu muncul kesedihan yang luar biasa. Ia juga merasa kebebasan dan privasinya sangat berkurang karena waktunya habis untuk mengurus anak. Padahal, selama masa kehamilan, Ririe sudah mempersiapkan secara matang perawatan anak pertamanya yang akan lahir. Ia membaca semua buku menjelang kelahiran anak pertamanya itu. Ririe yang tinggal jauh dari mertua dan orangtua merasa sudah siap mental untuk mengasuh dan merawat bayi. Namun perkiraannya meleset. Setelah melahirkan, secara teknis Ririe memang tidak canggung lagi merawat dan mengasuh anaknya. Akan tetapi tidak secara psikologis. Petunjuk “ilmu” yang ia pelajari dari buku ternyata tidak mendapat dukungan dari lingkungan terdekatnya. Pengasuh bayi yang ikut merawat Rheesa tidak mau mendengarkan saran-saran Ririe.
Kasus 2: Curahan hati ibu yang menderita baby blues
Perceraian Nita dan Surya terjadi, saat putera mereka belum genap berusia satu tahun, artinya usia pernikahan itu sendiri belum dua tahun. Nita banyak menyalahkan dirinya sendiri. Pasca melahirkan Nita mengalami depresi. Dimana Nita menjadi orang yang tidak percaya diri, merasa jelek, merasa tidak berarti apa-apa dan menjadi paranoid. Takut di tinggal suami, takut suaminya pergi tak kembali, hinggal menyesalkan kehadiran bayinya. Nita merasa bayinyalah yang menjadi penyebab ia tidak bisa bekerja. Cerita Nita amat mengejutkanku.
“Tapi ketika masa cutimu habis, kamu berkerja kembali, aku tidak melihat ada yang salah?” Ujarku bingung.
“Mendekati berakhirnya masa cuti, aku sudah bisa mengendalikan diri”. Jawabnya sambil tersenyum.
“Lalu, apa permasalahannya sampai kamu bercerai?” tanyaku semakin penasaran.
“Entahlah aku pun sampai saat ini tak paham, mengapa akhirnya bercerai. Mungkin sakit hati. Aku merasa di tolak. Kamu masih ingat Mba, waktu Bang Surya datang ke studio saat akan study ke Australia?” tanya Nita sambil memandangku.
“Yap, aku masih hamil waktu itu. Tunggu, waktu itu kamu sudah bercerai?” tanyaku?.
“ Sudah! Saat itu Bang Surya memberitahukan aku jadwal keberangkatannya di tunda karena Bang Surya akan menikah.” Ujar Nita santai.
”Aku tidak mengerti!” Ujarku sambil menatapnya.
”Ketika aku mengalami depresi sesudah melahirkan, ibu Bang Surya menganggapku tidak normal. Aku tidak tahu mana yang benar dan mana yang tidak benar. Keluarga besar Bang Surya mendesak Bang surya untuk menceraikan ku.
”Sebentar Nit. Stop dulu cerita Bang Surya dengan istri barunya. Aku ingin tahu habis kamu melahirkan, kamu tinggal dimana?”
”Tinggal di rumah Bang Surya dengan orang tua dan satu adik perempuannya. Adik laki-laki Bang Surya bekerja di Yogja!. Mengapa?”
”Apakah keluarga kamu tahu, kalau kamu mengalami depresi pasca melahirkan?” tanyaku lagi.
”Ya, enggaklah Mba. Dan memangnya aku tahu, kalau waktu itu namanya depresi?” Nita balik bertanya.
”Maksudmu?”
”Istilah depresikan baru aku pahami beberapa waktu lalu. Ternyata kasus yang kualami, banyak juga dialami perempuan lain. Cuma bedanya perempuan lain di bantu suami dan keluarganya untuk mengupayakan penyembuhan, sedangkan aku di vonis tidak normal. Sehingga di ceraikan dianggap jalan keluar satu-satunya!” Ujar Nita.
”Bang Surya memenuhi keinginan orang tuanya untuk menceraikanmu?”
”Orang tua Bang Suryapun tidak beringinan memelihara Faiz yang tak lain cucunya sendiri. Mereka beranggapan bisa jadi anakku juga tidak normal”.
Kali ini Nita mengatakan dengan wajah menerawang jauh.
”Tapi Bang Surya sendiri bagaimana? Apakah dia sudah tidak mencintaimu lagi? Juga anaknya?” tanyaku?
“Mungkin waktu itu Bang Surya juga kehabisan rasa sabarnya dalam menghadapiku. Setiap Bang Surya akan berangkat kerja, aku menangis sejadi-jadinya. Aku takut Bang Surya tidak pulang dan kembali padaku. Walaupun kenyataannya tiap sore juga pulang. Aku punya perasaan takut, ngeri, jijik terhadap bayiku sendiri. Aku tidak mau menggendongnya karena aku takut kalau kesadaranku hilang, aku akan menjatuhkan bayiku”. Ujar Nita sambil menarik nafas. Lalu ia melanjutkan.
“Aku menjadi orang yang menakutkan. Aku tidak mempercayai siapapun. Aku merasa semua orang tidak menginginkan ku. Jika ada keluarga yang berkunjung mereka hanya melihat bayiku. Puncaknya, Bang Surya mengupah perawat untuk mengurusku dan bayi kami. Saat itulah aku semakin yakin aku akan di buang. Bayiku di pisahkan dari aku. Aku masih tidur seranjang dengan bang Surya tapi lama-kelamaan Bang Surya lebih sering tidur di kamar bayi. Dan hubungan kami menjadi tawar. Mungkin Bang Surya merasa, aku mengecewakannya dan dalam kekecewaannya, ia menemukan perempuan lain yang bisa mengobati rasa kecewanya.
Pendekatan Kognitif-Behavioral Untuk Penanganan Baby Blues
Baby blues atau depresi pasca melahirkan adalah depresi yang dialami ibu setelah melahirkan yang berkaitan dengan perubahan mood yang parah dan persisten selama beberapa bulan atau bahkan setahun atau lebih.
Gejala depresi yang paling umum pasca-melahirkan adalah perasaan kosong yang luar biasa (emptiness), diikuti dengan perasaan lainnya seperti kehilangan nafsu makan, hilangnya kesenangan dalam hidup, energi dan motivasi, perasaan tidak berguna, tidak berharga, banyak menangis, tanpa harapan dan rasa bersalah yang keterlaluan, dan ketakutan yang luar biasa bayinya akan tersakiti atau disakiti orang lain.
Munculnya depresi pasca-melahirkan bisa dipicu oleh adanya depresi prenatal. Nancy K. Grote, Ph.D, MSW, Direktur Promoting Healthy Family Program School of Social Work dari Universitas Pittsburgh, menyebut beberapa tanda depresi prenatal. Misalnya, perasaan sedih, susah tidur, kehilangan nafsu makan, berat badan turun, mudah marah dan tersinggung, merasa begitu lemah, merasa tidak berharga dan merasa bersalah, sulit berkonsentrasi dan berpikir jernih. Lebih parah lagi, depresi ketika hamil juga sering membuat penderitanya berpikir soal kematian dan tidak lagi bergairah untuk melakukan hal-hal yang menyenangkan, seperti bersenda gurau, bekerja, makan, dan melakukan hubungan seks dengan suami. Tapi masalahnya, seringkali wanita hamil yang merasakan hal-hal di atas tidak menyadari bahwa dirinya sedang depresi.
Menurut Nancy, berbagai hasil penelitian membuktikan kalau depresi prenatal ini mendorong timbulnya depresi pasca-persalinan (postnatal) yang sering disebut dengan baby blues. Rangkaian depresi itu berakibat fatal, karena depresi postnatal bisa mengurangi kemampuan si ibu untuk membina kedekatan dengan bayinya. Akibatnya bayi pun tidak merasa aman berada di dekat ibunya sendiri.
Kondisi ini tentu sungguh memprihatinkan. Di Amerika, tercatat 10%-26% wanita mengalami depresi saat hamil. Jadi, tak ada tawar menawar lagi bagi wanita hamil yang menderita depresi. Mereka harus segera mencari bantuan agar ia terbebas dari depresi sebelum bayinya lahir. Jika tidak, ia tidak hanya mempertaruhkan dirinya, tapi juga masa depan anak-anaknya.
Banyak pemicu yang menyebabkan terjadinya depresi pasca-melahirkan. Di antaranya, depresi sebelum melahirkan, depresi yang tidak terkait dengan kehamilan, sindroma premenstruasi yang berat, perkawinan yang sulit, tak banyak anggota keluarga yang bisa diajak bicara, dan kehidupan penuh tekanan selama masa kehamilan dan melahirkan. Faktor endokrin diduga berperan dalam etiologi depresi pasca-melahirkan. Dalam kurun 1 sampai 42 hari setelah melahirkan, terjadi perubahan hormon estrogen dan progesteron yang sangat berarti.
Terapi Kognitif-Behavioral (cognitive-Behavioral Teraphy/CBT) untuk penderita baby blues
Sebelum proses terapi dimulai, terapis perlu terlebih dahulu menjelaskan susunan terapi kepada subjek, yang meliputi penjelasan tentang sudut pandang teori terapi perilaku dan teori terapi kognitif terhadap perilaku yang tidak adaptif, prinsip yang melandasi prosedur terapi perilaku-kognitif, dan tentang langkah-langkah di dalam terapi. Penjelasan ini penting perannya untuk meningkatkan motivasi individu dan menjalin kerjasama yang baik. Perlu pula dijelaskan bahwa fungsi terapis hanyalah sebagai fasilitator timbulnya perilaku yang dikehendaki, dan individu yang berperan aktif dalam proses terapi (Ivey, 1993). Oleh karena itu individu harus benar-benar terampil menggunakan prinsip-prinsip terapi kognitif dan terapi perilaku dengan masalah yang dialaminya, dan peran terapis penting dalam mengajak individu memahami perasaannya dan teknik terapi yang efektif untuk terjadinya perubahan perilaku yang dikehendaki.
Pertama-tama untuk klien penderita baby blues, terapis berusaha mengubah pola pikir klien yang terdistorsi dengan pikiran yang lebih adaptif. Kecenderungan untuk membesar-besarkan pentingnya kegagalan kecil (merasa gagal menjadi ibu yang baik) adalah suatu contoh dari suatu kesalahan dalam berpikir yang disebut Beck sebagai distorsi kognitif. Psikiater David burns (1980) menyusun sejumlah distorsi kognitif yang diasosiasikan dengan depresi, yaitu :
Cara berpikir semua atau tidak sama sekali (all or nothing thinking)
Seorang penderita baby blues mungkin berpikir semua tentang suaminya baik dan semua tentang dirinya sendiri jelek.
Generalisasi yang berlebihan
Bagi ibu yang menderita baby blues, bayi yang sering menangis digeneralisasikan bahwa dirinya tidak bisa merawat bayi untuk selamanya.
Filter mental atau abstraksi selektif
Fokus pada unsur-unsur negatif saja dan menolak unsur-unsur positif. Ibu penderita baby blues hanya melihat hal negatif dari dirinya seperti gagal merawat bayi, mengecewakan suami.
Mendiskualifikasikan hal-hal positif
Menolak ucapan-ucapan positif dan mengingkari pencapaian-pencapaian yang telah dilalui. Biasanya ibu penderita baby blues mengingkari hal positif seperti dirinya telah mengandung selama 9 bulan, berjuang saat melahirkan dan susah payah merawat bayi. Yang dilihat hanya ketidakmampuannya merawat bayi sehingga bayi menangis terus dan mengecewakan suami.
Tergesa-gesa membuat kesimpulan
Ibu penderita baby blues menyimpulkan bahwa bayi yang terus menangis adalah karena dirinya gagal menjadi ibu yang baik dan menyimpulkan sifat suami yang acuh sebagai kesalahannya tidak bisa menjadi istri yang baik. Padahal belum tentu kesimpulannya benar.
Membesar-besarkan dan mengecilkan
Membesar-besarkan kesalahan bahwa dirinyalah yang bertanggung jawab mengapa bayi menangis terus. Suami yang kurang perhatian dianggap sudah tidak cinta lagi atau membencinya.
Penalaran emosional
Segala sesuatu ditanggapi dengan emosi bukan dengan pikiran. Ibu penderita baby blues menginterpretasikan perasaan dan peristiwa berdasarkan emosi dan bukan pada pertimbangan-pertimbangan yang adil terhadap bukti.
Pernyataan-pernyataan keharusan
Menciptakan perintah personal seperti sebagai seorang ibu harus bisa merawat anaknya, memberikan ASI dan juga membahagiakan suami. Ibu harus menjadi supermom yang bisa menghandel segalanya. Padahal tidak harus seperti itu.
Memberi label dan salah melabel
Memberi label pada dirinya sendiri bahwa ia bukan ibu yang baik dan tidak pantas menjadi ibu.
Melakukan personalisasi
Menganggap semua yang terjadi adalah kesalahannya. Dia yang bertanggung jawab atas masalah dan perilaku orang lain, seperti perilaku suami yang kurang perhatian dianggap sebagai kesalahan dia yang tidak bisa membahagiakan suami.
Pikiran-pikiran yang terdistorsi tadi terlebih dulu harus diubah sebelum melakukan tindakan lebih lanjut dan tugas terapis membantu klien mengubah pola pikir tadi menjadi pola pikir yang lebih adaptif dan rasional. Terapis menunjukkan pada klien bahwa dia mengalami depresi pasca-melahirkan yang biasanya dipengaruhi hormon, stres dan perubahan dalam tubuh sehingga klien memahami bahwa apa yang dialaminya adalah normal. Meyakinkan klien bahwa depresi tersebut bisa disembuhkan.
Teknik-teknik yang digunakan adalah relaksasi, pemantauan diri dan terapi kognitif. Sebelum klien mengungkapkan pikiran-pikirannya, klien diminta melakukan relaksasi dulu untuk menenangkan pikiran dibantu oleh terapis. Lalu setelah klien lebih relaks, terapis memulai terapi kognitif yaitu dengan mendorong klien mengungkapkan pikiran-pikiran yang muncul akibat kejadian yang mengecewakan, misalnya apa yang ada dalam pikiran klien saat bayi selalu menangis, suami yang tidak peduli, ASI yang tidak keluar, tidak ada dukungan sosial, frustasi karena bayi tidak mau tidur, kelelahan pasca melahirkan dan peristiwa-peristiwa lain yang mengecewakan.
Setelah klien mengungkapkan pikiran-pikiran negatif itu, terapis berusaha melihat hubungan antara pikiran dengan respons emosional klien. Dengan begitu terapis bisa membantah pikiran yang terdistorsi dari klien. Biasanya saat menghadapi peristiwa-peristiwa itu, klien selalu menyalahkan diri, bahwa semua yang terjadi adalah akibat kesalahannya (personalisasi), merasa tidak bisa jadi ibu yang baik sehingga mengalami ketakutan.
Setelah klien mengutarakan pikiran-pikirannya tersebut, terapis membantah dengan rasionalisasi, misalnya saat klien merasa tidak bisa jadi ibu yang baik, terapis bisa membantah dengan mengatakan “kenapa ibu merasa tidak bisa jadi ibu yang baik? padahal selama ini ibu merawat bayi ibu, menyayanginya, menyusuinya, rela terjaga tengah malam jika bayi menangis. Ibu juga berjuang dengan mengandung selama 9 bulan dan berjuang saat melahirkan dengan segala kemampuan yang ibu miliki bahkan nyawa sebagai taruhannya, benarkan? Ibu tidak harus melakukan semuanya sendirian, ibu juga tidak harus menjadi supermom.”
Terapis terus membantu klien mengubah pola pikir yang salah dari klien bahwa perasaan-perasaan depresi yang dialaminya berasal dari pikiran-pikiran negatifnya sendiri. Terapis membantu klien dalam menghubungkan pola-pola pikiran pada mood yang negatif dengan cara meminta mereka melakukan pemantauan diri, yaitu dengan memonitor pikiran-pikiran negatif otomatis yang mereka alami sepanjang hari menggunakan buku harian atau catatan harian. Terapis menyuruh klien menulis buku harian. Jadi ketika klien menghadapi peristiwa yang menyebabkan sedih atau takut, klien diminta menuliskan pikiran-pikiran yang muncul saat peristiwa itu terjadi.
Mengubah pola pikir saja tidak cukup, tetapi harus diikuti adanya perubahan perilaku (terapi perilaku). Ibu yang menderita depresi pasca-melahirkan biasanya takut menyentuh bayinya, tidak mau menyusuinya, atau menolak kehadiran bayi. Untuk itu, perlu adanya perubahan perilaku bagaimana agar ibu tersebut bisa mendekati bayinya tanpa takut, bisa menyusuinya, dsb.
Di sini terapi behavioral diperlukan untuk mengubah perilaku ibu. Setelah tadi klien diminta menulis buku harian, terapis memberikan reward jika klien bisa melakukan aktivitas tersebut. Klien diminta mulai melakukan aktivitas sehari-hari yang disukainya. Sedikit demi sedikit mulai mendekati bayi, jika merasa tegang atau takut, klien diminta melakukan relaksasi dulu.
Terus seperti itu sampai akhirnya klien berani mendekati bayinya. Perubahan pada pola pikir pasti akan menimbulkan perubahan perilaku. Saat klien sudah tidak menyalahkan diri sendiri lagi, sudah tidak membesar-besarkan atau sudah mengembangkan pikiran yang lebih adaptif dan rasional, maka perilaku klien dalam menghadapi bayi dan tugas barunya sebagai ibu akan berubah juga karena klien sudah bisa menerima keadaan. Berbagi pekerjaan dalam perawatan anak dengan suami, dan mencari kelompok pendukung adalah hal lain yang bisa dilakukan.
Dalam menangani depresi pasca-melahirkan, dukungan dari suami dan keluarga dekat sangat dibutuhkan guna mempercepat proses penyembuhan. Jangan sampai ibu yang menderita baby blues ditinggalkan dan merasa sendirian. Baik pihak penderita, suami, orangtua dan mertua harus tahu apa yang terjadi pada ibu agar bisa memberikan penanganan yang tepat.
sumber : http://niandre7lovely.wordpress.com/2009/07/08/penanganan-baby-blues-dengan-pendekatan-terapi-kognitif-behavioral-cbt/
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar